Apakah tujuan hukum itu?
Pendahuluan
Secara singkat, tujuan hukum terbagi atas 3 tujuan yaitu,
a. Kepastian Hukum
b. Keadilan Hukum
c. Kemanfaatan Hukum
Kepastian Hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan tentunya secara jelas telah memberikan suatu payung hukum atau dasar hukum agar seseorang tunduk atas peraturan itu dan tidak melanggar aturan tersebut. Keadilan Hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat tentunya harus menciptakan rasa yang adil bagi seseorang untuk mematuhinya, dimana penegakan hukum yang berlaku secara nyata pada setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum tanpa memandang status sosial atau harta yang dimiliki oleh pelaku pelanggaran. Kemanfaatan Hukum adalah hukum sebagai suatu peraturan harus bisa memberikan manfaat bagi siapapun yang tunduk atas aturan tersebut, dikarenakan hukum dibuat untuk memberikan rasa aman, damai dan tentram agar kejahatan dan pelanggaran tidak dilakukan semena-mena oleh siapapun baik pembuat hukum itu sendiri dan masyarakat itu sendiri.
Apakah keadilan hukum itu paling penting?
Hukum yang baik itu seyogyanya harus memuat 3 tujuan hukum tersebut yaitu kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Tanpa keseimbangan antara ketiga hal tersebut, maka hukum tersebut dapat menjadi masalah bagi mereka yang tunduk akan hukum itu.
Namun, ada ahli yang berpendapat bahwa keadilan hukum lebih diutamakan dari kepastian hukum dan ada juga ahli yang berpendapat bahwa kepastian hukum lebih diutamakan dari berkeadilan hukum.
Menjawab hal tersebut, penulis mempunyai pendapat tersendiri tentang kepastian hukum dan keadilan hukum dimana kepastian hukum menurut penulis lebih harus diutamakan daripada keadilan hukum yang artinya “Apabila seseorang memang bersalah, dia harus diproses hukum sampai kepada Majelis Hakim memutuskan seseorang itu terbukti melakukan suatu kejahatan atau tidak terbukti”.
Banyak anggapan praktisi hukum muda sekarang yang sering mengatakan “Fiat Justitia Ruat Coelum” yang artinya “Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh” dimana kalimat ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Menurut penulis seyogyanya hal tersebut jangan pernah dibicarakan di depan umum bahwa kita harus mengutamakan keadilan, namun nyatanya seseorang yang dibela tersebut telah melanggar suatu tindak pidana baik suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan oleh karenanya seyogyanya prinsip “Fiat Justitia Ruat Coeum” tidak boleh disalahgunakan oleh Praktisi Hukum saat ini.
Kasus Istri Sah yang menganiaya Pelakor, padahal awalnya istri tersebut adalah korban namun kemudian menjadi tersangka penganiayaan. Apakah hal itu merupakan rasa ketidakadilan hukum?
Meski memang benar, awalnya istri tersebut adalah korban, dikarenakan suaminya direbut oleh pelakor. Namun, tindakan istri tersebut menganiaya si pelakor tentunya telah melanggar Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, dimana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana baik pelanggaran atau kejahatan tetap harus diproses hukum.
Dan di persidangan, terdakwa boleh menunjukan dan memberikan keterangan serta mengajukan saksi-saksi yang meringankan terdakwa. Apabila memang terdakwa boeh menunjukkan dan memberikan keterangan serta mengajukan saksi-saksi yang meringankan terdakwa. Apabila memang terdakwa telah melakukan tindak pidana, namun adanya alasan pembenar dan/atau alasan pemaaf untuk melakukan tindak pidana tersebut maka seorang terdakwa bisa saja lepas dari jeratan hukum yang ada. Sepanjang terdakwa dapat meyakinkan Majelis Hakim bahwa dirinya tidak bersalah dalam suatu tindak pidana.
Bagaimana melakukan suatu pengaduan Perzinahan, tetapi suami tersebut belum melakukan suatu perbuatan zina dengan pelaku tersebut?
Perbuatan zina dapat diproses, apabila seorang istri yang sah telah menangkap basah bahwa suaminya memang berselingkuh dengan si pelakor dan telah melakukan hubungan intim. Namun, meski dimualinya hubungan intim tersebut sepanjang istri mendapati suaminya tertangkap tangan melakukan suatu perselingkuhan maka istri dapat mengadukan suaminya terkait tindak pidana Pasal 284 KUHP tentang Perzinahan meski belum terbukti si suami telah melakukan suatu perzinahan.
Karena, baik foto maupun keterangan saksi dapat dijadikan suatu alat bukti yang mendukung tuntutan jaksa kepada si suami dan si pelakor tersebut, apakah benar terbukti si suami telah melakukan perzinahan dengan pelakor tersebut, apakah benar terbukti si suami telah melakukan perzinahan dengan pelakor bahkan ditambah dengan keterangan terdakwa (suami) dan keterangan pelakor (sebagai saksi mahkota) yang apabila mengakui perbuatan perzinahan tersebut maka pelakor dan si suami dapat dijatuhi hukuman maksimal 1 tahun penjara sebagaimana bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinahan dengan maksimal penjara 9 (sembilan) bulan seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 139/Pid.B/2017/PN.PTK dimana Hakim memutuskan terdakwa melakukan perzinahan dikarenakan berdasarkan 2 alat bukti yaitu keterangan saksi dan keterangan terdakwa dimana pertimbangan Hakim sebagai berikut:
- Menimbang bahwa untuk menentukan dan memastikan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam perkara ini dan untuk menjatuhkan putusan dalam perkara ini dan untuk menjatuhkan pidana terhadapnya, Majelis Hakim akan berpedoman pada alat bukti dan fakta-fakta hukum sebagai berikut :
a) Kesalahan terdakwa harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
b) Dan atas terbuktinya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
Majelis Hakim harus pula memperoleh keyakinan, bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan Terdakwalah sebagai pelakunya.
- Menimbang, bahwa mengapa hal ini dikemukakan adalah dalam rangka untuk menjamin objektifitas persidangan ini, demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran.
- Menimbang bahwa dengan telah terpenhinya unsur dalam surat dakwaan maka demikian majelis hakim berpendapat bahwa unsur dakwaan penuntut umum telah terpenuhi sehingga dengan demikian kepada terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan beberapa perbuatan perzinahan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 284 ayat (1) b jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Apa Contoh Kepastian Hukum dan Keadilan Hukum tersebut?
Salah satu contoh kepastian hukum adalah seseorang warga Negara Republik Indonesia yang baik tentunya harus membayar pajak. Dan salah satu contoh keadian hukum adalah tidak adilnya apabila seseorang pencuri yang mencuri sandal seharga Rp.50.000,- harus dihukum 5 tahun penjara sesuai dengan Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, padahal kasus tersebut dapat masuk kepada tindak pidana ringan yaitu Pasal 364 KUHP tentang Pencurian Ringan, disini keadilan hukum harus ditegakkan namun tidak mengabaikan tindak pidananya tersebut. Jadi, sebenarnya praktisi hukum bukan hanya soal membela kebenaran dan mencari keadilan namun yang sebetulnya adalah mencari celah-celah hukum yang dapat meringankan hukuman terdakwa.